KONFLIK HORISONTAL DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Pengantar Sosiologi
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM “45”
BEKASI
2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tema “Konflik Horisontal Di
Indonesia”. Makalah ini bertujuan khususnya untuk memenuhi tugas agama. Selain itu
juga untuk memberikan informasi atau gambaran umum mengenai konflik antar agama
yang telah terjadi di Indonesia. Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing Bapak Andi Sopandi, M.Si dan semua pihak terkait yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan perlu disempurnakan.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun kesempurnaan makalah ini. Besar harapan, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami dan para pembacauntuk memberikan tambahan pengetahuan dan
wawasan khususnya mengenai konflik yang terjadi di negara kita Indonesia.
Bekasi,
November 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Agama
mengemban fungsi memupuk persaudaraan. Walaupun fungsi tersebut telah dibuktikan dengan
fakta-fakta konkrit dari zaman ke zaman, namun disamping fakta yang positif itu
terdapat pula fakta yang negatif, yaitu fakta perpecahan antar manusia yang
kesemuaannya bersumber pada agama. Perpecahan tidak akan terjadi jikalau tidak
ada konflik (bentrokan) terlebih dulu. Lebih lanjut secara sepintas telah
disoroti pula masalah perpecahan dalam konteks krisis kewibawaan agama.
Demikian pun dijabarkan juga masalah bentrokan (konflik) antara agama dan ilmu
pengetahuan, meskipun hanya secara singkat.
Dalam pembicaraan sekarang ini,
kita sering mendengar beberapa konflik sosial yang bersumber dari agama.
Seperti perbedaan doktrin dan sikap, perbedaan suku dan ras umat beragama,
perbedaan tingkat kebudayaan, dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk
agama. Dari berbagai diskusi dan pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar
konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horisontal adalah konflik antar sesama masyarakat (seperti
garis horizontal yang sejajar), sedangkan konflik vertikal adalah konflik
antara pengusa dan rakyat/masyarakat (seperti garis vertikal yang tegak lurus).
Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni
masalah-masalah social yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan,
kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan
politik Dan konflik horisontal dan vertikal, saling
memberikan amunisi. Ketika konflik horisontal terjadi, konflik vertikal
memberikan api. Dan saat konflik horisontal terjadi, elit-elit
memanfaatkannya, demikian seterusnya.
Konflik horisontal yang ada di Indonesia sering disebabkan dan
bernuanasa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Hal itu disebabkan oleh
kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdiri dari
berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Contoh konflik antar suku seperti
perang antar suku di papua beberapa bulan yang lalu. Konflik antar agama sebagaimana
yang terjadi di Ambon dan Poso beberapa tahun yang lalu Islam Vs Kristen) atau
antara umat satu agama seperti konflik antara NU dan HTI beberapa bulan lalu
atau antara Islam dan Ahmadiyyah (jika Ahmadiyyah dianggap Islam seperti
pengakuan para pengikutnya) atau antara Sunni dan Syi’ah. Konflik antar Ras,
misalnya perang antara etnis Melayu dan Dayak di Sambas beberapa tahun lalu.
Adapun contoh konflik antar golongan seperti tawuran dua desa di Jawa Barat
atau di Nusa Tenggara. Dan masih banyak contoh lagi.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas , maka dirumuskan permasalahan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah fakta yang terjadi yang
menyebabkan konflik dalam beragama?
2.
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya konflik dalam beragama?
3.
Bagaimana strategi penanggulangan dalam
mengatasi konflik antar beragama?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini, adalah:
1.
Menganalisa fakta yang terjadi penyebab
terjadinya konflik beragama?
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya konflik dalam beragama?
3.
Mengkaji strategi penanggulangan konflik
horizontal dalam beragama?
D.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini dari 3 (tiga) bab. Pada bab pertama berisi tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika
penulisan.
Selanjutnya,
bab kedua faktor penyebab terjadinya konflik antar agama yang berisi perbedaan
doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras agama dan perbedaan tingkat
agama.
Pada
bab ketiga mengenai strategi penanganan konflik berisikan tentang cara
mengatasi konflik dan lima strategi untuk mengatasi konflik. Pada bagian akhir,
dilampirkan daftar pustaka.
BAB
II
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK ANTAR AGAMA
A.
Perbedaan
Doktrin dan Sikap Mental
Konflik
sebagai kategori sosiologi bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan
yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah proses yang
mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecah. Fokus
kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar pada agama.
Dalam konteks ini konflik sebagai fakta social melibatkan minimal dua pihak
(golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi kayal (konsepsional)
melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada zaman sekarang
juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba, benturan umat
Kristen dengan penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama
sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan
sekarang ini kita hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja,
yaitu: perbedaan iman. Berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat beragama. (Sumber :
Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Bahwa
perbedaan iman (dan doktrin) de facto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita
persoalkan, tetapi kita menerimanya sebgai fakta dan mencoba untuk memahami,
dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yan g sedang terlibat dalam
bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang
menjadi penyebab utama dari benturan itu. Sadar atau tidak setiap pihak
mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama
lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan (reference group), sedangkan lawan
dinilai menurut patokan itu. Skala fiktif kurang lebih sebagai berikut.
1.
Agama A (agama yang saya anut) adalah
paling benar dan paling lengkap.
2.
Agama B (agama lawan) mempunyai
unsur-unsur kebenaran (tidak lengkap).
3.
Agama C (agama lain) mempunyai sedikit
kebenaran (amanat tak lengkap).
4.
Agama D adalah agama kafir (tiada punya
kebenaran).
(Sumber : Puspito hendro, Sosiologi
agama, Yogyakarta, 1983).
Skema
penilaian di atas, kendali lokasinya ada dalam alam pikiran namun tidak jarang
terungkap dalam kata-kata dan tulisan. Bukan saja dari pihak agama A, tetapi
agama B pun tidak akan tinggal diam dan akan menempatkan agama sendiri (B) pada
jenjang yang paling atas dan lainnya ada ditingkat bawah. Mudah diterka bahwa
pernyataan diatas tidak bebas dari salah paham, praduga, dan argumentasi yang
bernada emosi. Bentuk bentrokan pada tingkat kongnitif-evaluatif ini dikenal
sejak dahulu dengan istilah “apologia dan
apologetika”, menurut tingkat keilmiahannya. Apologetika adalah suatu
bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang
diimaninya, terhadap serangan yang datang dari dalam maupun dari luar. Ciri
konfrontatif dari apologetika tampak jelas jika dipakai metode antitetis. (Sumber : Puspito hendro,
Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Karena
dalam metode itu ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain. Yang menggunakan metode simpatetis sifatnya lain lagi.
Apologetika yang demikian itu tidak menunjukkan batas pendirian yang tegas,
berbau kompromistis, mengatakan bahwa agama-agama itu sama saja, perbedaannya
sedikit sekali. Dengan demikian batas perbedaan yang secara tegas memang ada
menjadi kabur. Metode lain lagi ialah yang disebut metode positive-tetis.
Uraian di atas menunjukkan kebenaran dan pernyataan-pernyataan Allah yang
terkandung dalam kitab suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama lain dengan
menyerang kitab suci dan demikian tidak melukai hati orang lain. (Sumber :
Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
B.
Perbedaan
Suku dan Ras Pemeluk Agama
Bahwa
perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk
menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh kenyataan
yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang menjadi
masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan
agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat
manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari berbagai suku
bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda bukannya membina dan
memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan bangsa
dan Negara itu.
Bahwa
faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya
permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan
menarik dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalngan kaum politisi, adalah
merupakan masalah yang tetap actual yang tidak dijadikan sasaran dari
pembicaraan kita sekarang ini. Masalah itu telah menjadi bahan pembicaraan
ilmiah dari ilmu biologi dan politik
namun demi lebih jernihnya masalah yang
kita bicarakan ada satu hal sangat menarik dari kalangan sarjana biologi, perlu
kita tampilkan disini. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak
sanggahan yang gigi ialah dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang
menjadi klasik “Essai sur I’negalite des races humaines, tahun 1853-1855.
Asumsi itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras
tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor
kemajuan di dunia ini dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk
tidak dapat menhasilkan sesuatu yang yang berarti dalam bidang kemajuan.
Kesombongan
rasial itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian bangsa Jerman bahwa
bangsa itu merupakan “manusia super”,
yang mendapat tugas di dunia ini dari kekuasaan ilahi, untuk menghancurkan jenis
ras yang lebih rendah. Patut disayangkan bahwa ilusi congkak itu telah
diwujudkan oleh regim Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia
dari suku bangsa Yahudi. Namun dalam keseluruhan perbuatan anti rasial yang tak
mengenal perikemanusiaan itu tidak ditemkan unsurperbedaan agama sebagai dasar
pertimbangannya. Kebenaran asumsi akan lebih penuh bagi sekelompok bangsa yang
berpendirian bahwa setiap bangsa mempunyai agamanya sendiri.Misalnya; agama
Islam untuk bangsa arab, agama hindu dan budha untuk India, agama jawa untuk
bangsa jawa.
Contoh
lain yang memperkuat pendirian mengenai situasi konfliktual atas dasar
perbedaan agama dan ras bersama-sama, dapat dilihat dalam wilayah Negara
Indonesia tersendiri. Suku bangsa aceh yang beragama islam dan suku bangsa
batak yang beragama Kristen; kedua suku
itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konfik fisik
(sering terjadi) yang merugikan ketentraman dan keamanan. Demikian pula suku Flores
yang beragam katolik dan suku bali yang memeluk agama hindu-bali hidup dalam
jarak sosial yang kurang lancer. Masalah suku dan agama yang merupakan bagian
dari apa yang disebut “SARA’’ itu belum ditangani oleh penelitian sosiologis.
Yang perlu dicari jawaban ilmiahnya ialah soal sejauh mana perbedaan suku dan
agama merupakan penghambat kesatuan nasional yang kuat.
C.
Perbedaan
Tingkat Kebudayaan
Fenomena
agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan bahwa
tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa didunia ini tidak sama. Demi mudahnya
pendekatan kita bedakan saja dua tingkat kebudayaan, yaitu kebudayaan tinggi
dan kebudayaan rendah, meskipun pembagian dikhotomis dan simplistic ini
menanggelamkan nuansa kekayaan kultural yang memang ada diantara ujung yang
tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua
kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan
positif dan teknologis disatu pihak dan
hasil pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan
motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan.
Dari
asumsi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara
bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang
dialami dunia dari masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari
pertanggung jawaban agama-agama yang dianut oleh bangsa-bangsa yang
bersangkutan. Secara moral agama-agama tidak bisa cuci tangan atas terjadinya
jurang (dan garis) diskriminatif antara bangsa yang maju dan bangsa yang
terbelakang. Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah
tersebut tidak terelakan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa ilusi
keunggulan ras (kulit putih) sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak
dapat kita terima. Agama mengamankan masyarakat manusia dan menampilkannya
didepan mata manusia dalam istilah nilai-nilai, dan mengajak manusia untuk
menghargai dan menghormatinya. (Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama,
Yogyakarta, 1983).
Berbicara
tentang pembaharuan metodologis pemahaman agama sesungguhnya bukanlah
kompetensi sosiologi, apalagi memberikan resep untuk menggunakan metode
tertentu. Namun apabila suatu metode yang telah dipakai ilmu diluar sosiolagi
yang telah membuktikan keberhasilannya dalam mengubah wajah masyarakat,
sosiologi pun dapat menerimanya sebagai “postulat” dan menganjurkannya kepada
ilmu sejenis untuk mencobanya. Kemajuan suatu bangsa tergantung pula untuk
sebagian besar dari jenis system sosialisasi (pendidikan) yang diikuti dan jenis
system ini pula mendatangka hasil yang berbeda dan oleh karenanya juga
perbedaan tingkat kemajuan bangsa yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini,
seperti telah ditekankan di muk, agama ikut memainkan perannya baik ke arah
yang baik maupun yang buruk. Ke arah yang baik bila agama berkat visi
religiusnya sanggup memberikan kepada pemeluk-pemeluknya suatu kerangka
gambaran nilai-nilai yang luhur dari eksistensi dan esensi jagat raya ini yang
patut dikejar untuk dicapai. (Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama,
Yogyakarta, 1983).
Pada
dasarnya secara teoretis agama memiliki kesanggupan itu karena agama dipanggil
untuk melihat dan menilai dunia ini dengan kaca mata “supra-empiris” dan
menimbang dengan timbangan adikodrati sehingga dengan demikian alam semesta
yang pada dirinya mungkin tidak berarti, menjadi sesuatu yang berarti tinggi.
Agama merangkum jangkauan yang paling jauh dari eksternalisasi diri manusia,
untuk mencurahkan dirinya dalam realitas sesuai den gan arti yang diberikan
olehnya. Agama mengandung arti bahwa pranata manusia diproyeksi kedalam
totalitas “yang ada”. dengan kata tersendiri, agama adalah usaha manusia yang
berani untuk menangkap jagat raya sebagai suatu yang berarti bagi manusia.
(Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
BAB III
STRATEGI
PENANGANAN KONFLIK
A.
Cara Mengatasi Konflik
Adapun cara mengatasi konflik dapat dilakukan dengan
cara-cara berikut:
1.
Mempelajari
penyebab utama konflik.
2.
Memutuskan
untuk mengatasi konflik
3.
Memilih
strategi mengatasi konflik (Hunsaker,2003)
B.
Menghilangkan
faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik di suatu wilayah
1.
Menguatkan ideologis nasionalis sebagai bangsa
yang sama dan negara yang sama.
2.
Pembauran
alami dan sistematis dalam pengawasan ketat berfasilitas kesamaan kultur.
3.
Pembauran religius dan kekeluargaan dalam
bentuk perkawinan silang.
C.
Lima Strategi Untuk Mengatasi Konflik
dalam lima kemungkinan
1.
Jika
kerjasama rendah dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakan pemaksaan (forcing) atau competing.
2.
Jika
kerjasama rendah dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan penghindaran (avoiding).
3.
Jika
kerja sama dan kepuasan diri seimbang (cukup), maka gunakan kompromi
(compromising).
(compromising).
4.
Jika
kerjasama tinggi dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakan kolaboratif (collaborating).
5.
Jika
kerjasama tinggi dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan
penghalusan (smoothing). Forcing (Pemaksaan) menyangkut penggunaan kekerasan, ancaman, dan taktik-taktik penekanan yang membuat lawan melakukan seperti yang dikehendaki.
penghalusan (smoothing). Forcing (Pemaksaan) menyangkut penggunaan kekerasan, ancaman, dan taktik-taktik penekanan yang membuat lawan melakukan seperti yang dikehendaki.
Pemaksaan hanya cocok dalam situasi-situasi
tertentu untuk melaksanakan perubahan-perubahan penting dan mendesak. Pemaksaan
dapat mengakibatkan bentuk-bentuk perlawanan terbuka dan tersembunyi (sabotase). Avoding (Penghindaran) berarti
menjauh dari lawan konflik. Penghindaran hanya cocok bagi individu atau
kelompok yang tidak tergantung pada lawan individu atau kelompok konflik dan
tidak mempunyai kebutuhan lanjut untuk berhubungan dengan lawan konflik. Compromissing
(Pengkompromian) berarti tawar menawar untuk melakukan kompromi untuk mendapatkan
kesepakatan. Tujuan masing-masing pihak adalah untuk mendapatkan kesepakatan
terbaik yang saling menguntungkan.
Pengkompromian akan berhasil bila kedua belah
pihak saling menghargai, dan saling percaya. Kepuasan diri-sendiri, Collaborating berarti kedua pihak yang
berkonflik kedua belah pihak masih saling mempertahankan keuntungan terbesar
bagi dirinya atau kelompoknya saja. Smoothing
(Penghalusan) atau conciliation
berarti tindakan mendamaikan yang berusaha untuk memperbaiki hubungan dan
menghindarkan rasa permusuhan terbuka tanpa memecahkan dasar ketidaksepakatan
itu. Conciliation berbentuk mengambil
muka (menjilat) dan pengakuan Conciliation
cocok untuk bila kesepakatan itu sudah tidak relevan lagi dalam hubungan kerja
sama.
BAB
IV
KESIMPULAN
Konflik sebagai
kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan
yang pertama dari proses dissosiatif Proses assosiatif adalah proses yang
mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecahkan.
Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar pada
agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua
pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi khayal
(konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi di
zaman sekarang. Misalnya: bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan
umat Yuhudi, benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama
kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan sekarang
ini kita hanya ingin mengkhususkan pada suatu sumber bentrokan saja, yaitu :
perbedaan iman. Dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat
beragama. Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de facto menimbulkan bentrokan
tidak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba
untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang
terlibat dalam bentrokan masing-masing terutama dari benturan itu.
Faktor-faktor
penyebab konflik diantaranya perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku
dan ras beragama dan perbedaan tingkat kebudayaan. Perbedaan iman menimbulkan
bentrokan yang tidak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai
fakta dan mencoba untuk memahami dan mengambil hikmahnya.
Adapun
strategi untuk mengatasi konflik yang ada, harus adanya kesepakatan dari kedua
belah pihak untuk saling menghargai dan saling percaya.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku
Puspito
hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983.
B.
Internet
No comments:
Post a Comment