ANALISIS
OPINI PUBLIK TERHADAP KEBIJAKAN
PEMERINTAH
DALAM BENTUK BLT
(BANTUAN
LANGSUNG TUNAI)
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Komunikasi Politik
Oleh:
Dede Irawan (NPM
41183506110008)
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM “45”
BEKASI
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji bagi Alloh, yang telah
melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sekalian sehingga
kita dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik dan dengan maunah-Nya
lah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa dan
mengajarkan kita mu’jizat yang paling agung yaitu Islam dan kitab suci Al
Qur’an, sehingga kita dapat menjalankan perintah Alloh, menjauhi semua
larangan-larangan-Nya dan dapat mengarungi samudra kehidupan di dunia dengan
jalan yang diridhoi-Nya.
Akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada Ibu pembimbing dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah
ini. Tentunya penyampaian pendapat dalam makalah ini masih terdapat kekurangan
disana-sini, sehingga saya mengharap saran dan kritik membangun dari para
pembaca guna tersusunnya makalah yang sempurna dan dapat bermanfaat khususnya
untuk diri saya pribadi dan umumnya bagi seluruh pembaca dan masyarakat
sekalian.
Bekasi. 26 Desember 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kemiskinan
sepertinya tidak akan jauh meninggalkan bangsa kita ini, karena begitu banyak
rakyat yang menderita kemiskinan. Ini menandakan bahwa rencana pemerintah untuk
menuntaskan kemiskinan sepertinya hanya bertahan sementara dan salah satu cara
dengan mengadakan BLT. Secara garis besar
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dapat dipahami sebagai pemberian sejumlah uang
(dana tunai) kepada masyarakat miskin setelah pemerintah memutuskan untuk
menaikkan harga BBM dengan jalan mengurangi subsidi namun selisih dari subsidi
itu diberikan kepada masyarakat miskin. Bukti nyata dari
kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung
Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui
‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan
Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di
Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah
dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap
perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun
global. Kebijakan seperti ini patut diberi apresiasi, sebab hal
ini juga dapat menjadi salah satu bentuk dari upaya menangani masalah
kemiskinan di Indonesia.
Kemudian Pada Tahun
2008, kembali Pemerintah melanjutkan skema program pengurangan subsidi BBM dari
bulan Juni sampai dengan Desember 2008
dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional
cash transfer) sebesar Rp.100.000,- per bulan selama 7 bulan, dengan
rincian diberikan Rp.300.000.- / 3 bln (Juni-Agustus) dan Rp.400.000.- / 4 bln
(September-Desember). BLT merupakan implementasi
dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang pelaksanaan program bantuan
langsung tunai (BLT) untuk rumah tangga sasaran (RTS) dalam rangka kompensasi
pengurangan subsidi BBM. Program BLT-RTS ini dalam pelaksanaanya harus langsung
menyentuh dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat miskin (yang
terkategori sebagai RTS), mendorong tanggung jawab sosial bersama dan dapat
menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang secara konsisten
mesti benar-benar memperhatikan Rumah Tangga Sasaran yang pasti merasakan beban
berat sebagai akibat dari kenaikan harga BBM.
BLT yang idealnya harus memenuhi tugas hakikinya yakni membantu masyarakat
miskin dengan dasar hukum InPres No.3/2008, memiliki tujuan mulia yang
digariskan secara yuridis formal di dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Penyaluran
BLT untuk RTS tahun 2008 sebagai berikut:
1)
Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya;
2) Mencegah penurunan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi;
3)
Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Dengan tujuan itu, maka penerima
bantuan langsung tunai adalah Rumah Tangga Sasaran sebanyak 19,1 Juta Rumah
Tangga Sasaran hasil pendataan oleh BPS. yang meliputi Rumah Tangga Sangat
Miskin (poorest), Rumah Tangga Miskin (poor) dan Rumah Tangga
Hampir Miskin (near poor) di
seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan pemberian BLT bagi 19,1 juta RTS seluruh Indonesia yang dilakukan karena
pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga dasar BBM, kenaikan harga
dapat mengakibatkan harga kebutuhan
pokok meningkat dan bagi masyarakat miskin dapat mengakibatkan daya beli mereka
semakin menurun. Penurunan ini dikarenakan mereka akan mengalami kesulitan
untuk beradaptasi dengan perkembangan harga di pasar. Warga masyarakat miskin
akan terkena dampak sosial yakni semakin menurun taraf kesejahteraannya atau
menjadi semakin miskin. Untuk itu diperlukan program perlindungan sosial bagi
masyarakat miskin dalam bentuk program kompensasi (compensatory program) yang
sifatnya khusus (crash program) atau program jaring pengaman sosial (social
safety net), seiring dengan besarnya beban subsidi BBM semakin berat dan
resiko terjadinya defisit yang harus
ditanggung oleh pemerintah. Selain itu, akibat selisih harga BBM dalam negeri
dibanding dengan luar negeri berakibat memberi peluang peningkatan upaya
penyelundupan BBM ke luar negeri. Sehingga pemerintah memandang perlu mereviu
kebijakan tentang subsidi BBM, karena selama ini subsidi dinikmati juga oleh
golongan masyarakat mampu yang kemudian dana itu dialihkan untuk golongan
masyarakat miskin. Dan harus diakui program ini setelah dilaksanakan memang
melahirkan penilaian yang pro dan kontra terkait keberhasilannya. Ada yang
berpendapat bahwa Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran bersifat charity dan
menimbulkan budaya malas, ketergantungan, dan meminta-minta belas kasihan
Pemerintah serta secara ekonomi mikro menumbuhkan budaya konsumtif sesaat, karena penggunaan
uang tidak diarahkan oleh Pemerintah (unconditional
cash transfer).
B. Perumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, dapat dirumuskan masalah tentang bagaiman opini publik
terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT).
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan
makalah ini, penulis bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang opini
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya Bantuan Langsung Tunai
(BLT).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Opini Publik Mengenai Kebijakan
Pemerintah Dalam Hal BLT
Opini Publik merupakan kumpulan pendapat orang
mengenai hal ihwal yg mempengaruhi atau menarik minat komunitas dalam hal ini
saya akan menganalisis terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan Langsung Tunai adalah sebuah program kompensasi untuk
kelompok termiskin ketika terjadi sebuah guncangan ekonomi yang bisa
mempengaruhi kesejahteraan kelompok itu. Di Indonesia, BLT diberikan saat
terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang akan mempengaruhi
harga-harga secara umum. Tapi secara prinsip, BLT atau mekanisme kompensasi
secara umum bisa diberikan ketika terjadi guncangan ekonomi karena
alasan-alasan lain, seperti bencana alam atau krisis ekonomi (cash for work
bagi korban letusan Merapi adalah contoh program kompensasi).
Salah satu
bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan
ialah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin di
Indonesia. Dalam fenomena ini, pemerintah mengucurkan dana tunai/ dana langsung
yang diterima oleh masyarakat melalui aparatur pemerintahan yang sebelumnya
telah melakukan survey terkait penduduk mana saja yang berhak menerima dana
tersebut. Kebijakan ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi bagi
masyarakat kecil dan menengah untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mengingat
masih banyaknya penduduk yang dikategorikan miskin di Indonesia.
Secara historis, kebijakan pemerintah terkait dengan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) tersebut diakibatkan semakin bertambahnya jumlah
masyarakat miskin di Indonesia Penyebab kemiskinan di Indonesia sangat beragam,
dimulai dari pendidikan yang rendah, etos kerja yang kurang, hingga budaya
konsumerisme yang tinggi serta korupsi yang tumbuh subur. Itulah mengapa
pemerintah memberikan dana BLT sebagai “perangsang” perekonomian masyarakat.
Namun, imbas dari kebijakan ini justru menciptakan budaya malas bagi masyarakat
itu sendiri. Rakyat, pada akhirnya menjadikan BLT sebagai harapan untuk
memenuhi kebutuhan dan hajat hidup mereka. Akibatnya, bukan sebuah peningkatan
ekonomi yang terjadi, namun justru etos kerja masyarakat yang semakin menurun.
Kebijakan ini ternyata semakin mempersubur budaya korupsi di daerah. Hal ini
tercermin dalam pengalokasian dana BLT yang diberikan kepada masyarakat. Ada
sebuah stigma, bahwa proses kolusi terjadi dalam pengaplikasian kebijakan ini.
Misalnya, penduduk yang mendapatkan bantuan ini memiliki hubungan kekerabatan
dengan aparatur yang berwenang, walaupun penduduk tersebut tidak tergolong
miskin. Ini diperkuat dengan tidak adanya standarisasi yang diberikan
pemerintah terkait kriteria apa saja yang ditetapkan sebagai penduduk miskin.
Walaupun pemerintah telah menetapkan penduduk miskin ialah mereka yang menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan garis kemiskinan dari “besarnya
rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100
kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokok lainnya seperti sandang
pangan, perumahan, kesehatan.”
A. Empat Faktor Kelemahan Kebijakan BLT
(Bantuan Langsung Tunai)
Kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui BLT, secara umum
masih terdapat banyak kelemahan. Setidaknya ada empat kelemahan dalam penerapan
kebijakan BLT yang telah dilaksanakan oleh pemerintah.
Pertama, kebijakan
BLT dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial,
ekonomi, dan budaya disetiap wilayah (komunitas).
Kedua, definisi
dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally
imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah
konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dari hakikat kemiskinan itu
sendiri.
Ketiga, penanganan
program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga
banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang.
Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh
kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna
dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin.
Kebijakan BLT nyatanya belum cocok mengatasi permasalahan
ini, sehingga kebijakan itu tidak berhasil karena program yang dirancang dalam
pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan masyarakat
miskin.
Penyusun
menilai bahwa Pemerintah pada saat ini tidak mempunyai alternatif lain untuk
menekan laju inflasi dan menghemat devisa berkaitan dengan naiknya harga BBM di
dunia Internasional. Kenaikan harga BBM tersebut kemudian telah
menyebabkan terjadinya ‘bencana ekonomi’ dalam negeri dan akan menjadi potensi
terjadinya ‘bencana sosial’. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan
kebijakan BLT Plus sebagai upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang
berpotensi terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial dan bencana sosial
yang lebih parah.
Pemerintah mengurangi subsidi BBM karena merasa bahwa selama ini dana
subsidi itu juga diterima oleh orang kaya. Karena itu adalah tepat jika selisih
subsidi itu diberikan kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin. Dan memang
program itu benar-benar telah dijalankan, terlepas dari hasilnya memuaskan atau
tidak memuaskan semua pihak di bangsa ini. Namun kita juga jangan sepenuhnya
menyalahkan pemerintah, karena pemerintah sebelum menaikan harga BBM dan
berujung pada terlaksananya BLT telah memikirkan dengan matang namun mungkin
maksud pemerintah tidak sepenuhnya diterima baik oleh masyarakat banyak. Namun
menurut saya memberikan BLT memang salah sasaran karena hanya memberikan uang
sebanyak Rp 150.000 per bulan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, mungkin masih bisa tertutupi pekerjaan bagi yang mempunyai pekerjaan
namun bagaimana dengan masyarakat yang pekerjaannya serabutan yang hanya
bekerja bila dipanggil oleh orang? Mungkin ini akan bisa dijawab apabila kita
sendiri yang mengalaminya.
Bantuan langsung tunai bukanlah sebuah solusi, jauh-jauh hari sudah disampaikan.
BLT hanya merupakan bentuk pembodohan, hampir sama dengan kelakuan pemerintah
yang membagi-bagikan kompor dan tabung gas gratis. Yang terjadi malah kompor
dan tabung gas tersebut dijual lagi.
Kebijakan-kebijakan
instan seperti ini sesungguhnya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan
saja. Terlebih kurangnya akses pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan.
Sehingga masyarakat awam yang tak mendapatkan haknya (pendidikan, dll) menjadi
lebih bergantung pada kebijakan sesaat ini. Pemerintah seharusnya tidak hanya
memikirkan kondisi ekonomi makro, jika pemerintah mau belajar dari krisis
ekonomi di era ’97-’98. Sudahlah kita terjepit, pemerintah masih saja berpikir
jangka pendek. Ingatan saya dibawa pada pertemuan dengan Bpk. Paskah Suzeta
(Menneg Bappenas) di UNPAD dua tahun silam. Ketika itu dihadapan mahasiswa
beliau memaparkan blue print Indonesia 2005-2025. Kenyataannya yang
digarisbawahi hanya ekonomi makro dan industrialisasi, sedangkan di bidang
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan juga aplikasi teknologi kurang
sekali terpresentasikan. Tambahan informasi kebijakan pemerintah RI yang
dipandang dunia bisa didapat di World Resource Institute. Pemerintah ke depan
jika mau melaksanakan program sejenis BLT ini dengan asumsi bahwa untuk memberikan
social protection (perlindungan
sosial) bagi masyarakat miskin, berkewajiban untuk menganalisis secara saksama
dan benar kebutuhan mendasar masyarakat dalam menghadapi kesulitan hidupnya
terkhusus bidang ekonomi dan bukan hanya sekedar memberikan sejumlah uang yang
belum tentu tepat sasar.
Sebaiknya
pemerintah menciptakan program dengan efek jangka panjang seperti memberikan
pelatihan, kemudian dukungan modal, selanjutnya kontrol dalam jangka waktu
tertentu dengan menempatkan tenaga pendamping sampai dengan masyarakat bisa
bertanggung jawab sendiri mengelolah bidang usaha yang telah disediakan
pemerintah. Jika pemerintah benar-benar bertanggungjawab atas nasib rakyatnya,
maka pasti uang dalam jumlah besar tersebut akan tepat sasar dan tidak diselewengkan
sebagaimana yang telah terjadi di negera ini dengan kasus korupsi yang tinggi
sementara rakyat menderita.Mungkin alangkah lebih baik jika dana untuk BLT
disalurkan ke wadah yang lebih bermanfaat, misalnya dengan membuat lapangan
kerja agar masyarakat bisa bekerja dan agar tidak menjadi jiwa yang hanya
menunggu untuk diberi, dan dengan dibangunnya lapangan kerja meningkatkan SDM
yang kreatif dan siap bersaing.
Untuk program BLT ini, penulis berpikir jika tingkah laku dan etika yang
dikedepankan dalam keseluruhannya maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada
penyimpangan karena ketika ada orang yang berperilaku menyimpang ia akan malu
karena melanggara yang lazim sebagai kebenaran moral di tengah masyarakat.
Namun di Indonesia, BLT tidak beretika lagi. Orang miskin tetap miskin, bahkan
orang mampun pun berpura-pura miskin agar bisa dapat BLT. Keadilan sulit
ditemukan di negara ini, namun masih ada harapan jika aparat pemerintah kembali
introspeksi diri dan melakukan refleksi agar bisa membuat kebijakan dan
melaksanakannya agar pantas disebut manusia.
Berdasarkan kedua item analisis tersebut,
maka timbul pertanyaan yang boleh dijawab dan boleh juga sekedar menjadi bahan
refleksi sebagai anak bangsa dan mungkin juga menikmati program BLT karena kita
masih tergolong miskin. Miskin harta masih lebih baik daripada miskin harga
diri yang membuat bangsa ini kian terpuruk dalam kebobrokan mental
penyelenggara negara dan jauh meninggalkan filsafat politik sehingga tidak bisa
lagi melihat fenomena bangsa secara falsafati.
Idealnya program pemerintah yang dikemas
secara apik dan indah dalam bingkai bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang
seakan menjadi oase di tengah padang kesulitan ekonomi masyarakat miskin
Indonesia yang katanya semakin berkurang tetapi realitasnya kok justru
bertambah. Banyak orang mengaku miskin hanya karena uang Rp.100.000,- perbulan.
Orang Indonesia tidak malu lagi mengaku miskin, salah siapa?
Tentu kita yakin para pendiri bangsa ini
tidak pernah bercita-cita mendirikan negara untuk disia-siakan oleh penerusnya.
BLT harusnya membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat miskin yang mengalami berbagai kesulitan dalam menjalani hidup.
Namun setelah program bergulir tidak ada perubahan berarti kecuali
ketergantungan masyarakat miskin kepada pemerintah. Di kota besar seperti
Jakarta dan Bandung, ada banyak orang tinggal di jalanan. Di pelosok desa,
petani tidak bisa bercocok tanam lagi karena tanahnya sudah dialihfungsikan
menjadi perkebunan atau pertambangan yang menjadi milik perusahaan asing dan
mereka Cuma jadi buruh kasar yang digaji secara tak pantas.
Namanya juga oase yang bisa saja nyata
ataupun fatamorgana semata. Rakyat senang ketika melihat dan mendapat sejumlah
uang dari pemerintah, namun apakah uang itu akan terus diberikan pemerintah?
Penulis tidak yakin hal itu akan terus berlanjut, maka adalah lebih baik ketika
menemukan mata air harus dibuat sumur dan ditampung dengan sistem yang modern
agar tidak sia-sia menguap ke langit.
Hal ini sama dengan pemberian BLT yang
tidak berbekas, rakyat terus meminta pengasihanian pemerintah. Tidak ada
pertumbuhan ekonomi yang berarti buat masyarakat miskin, mereka terus miskin
bahkan dilarang sakit karena berobat pun mahal meski katanya ada Jamkesmas.
Karena itu penulis menyarankan kepada
pemerintah sekiranya dalam menyusun yang langsung menyentuh masyarakat, lebih
bijaksana agar kebijakannya dapat tepat sasar dan bisa membawa perubahan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh
golongan kaya saja tetapi seluruh golongan masyarakat Indonesia. Penulis
sarankan agar kebijakan yang pro rakyat itu hendaknya dibuat dibuat dari
berpikir dengan ciri-ciri berpikir filsafat dan gaya berpikir filsafat.
Tujuannya agar masyarakat tidak haus lagi ketika mendapatkan sumber air yang
bisa membuat mereka bertahan hidup saat ini dan di masa yang akan datang bila
itu memungkinkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam makalah ini saya berasumsi bahwa persoalan
kemiskinan di Indonesia justru semakin menjadi parah dan menjadi lebih buruk
adalah akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang
diambil oleh pemerintahan SBY-JK melalui program BLT. Dalam hal ini
saya memandang bahwa persoalan kemiskinan telah menjadi sebuah ‘slogan’
yang dipakai secara ‘keliru’ untuk suatu kepentingan tertentu. Dimana
kemiskinan dan kaum miskin telah menjadi ‘alat dan sarana’ bagi orang-orang
yang berkuasa dan orang-orang yang kaya untuk menjadi lebih berkuasa dan
menjadi kaya, sedangkan kaum miskin tetap menjadi miskin dan tambah menjadi
miskin.
Dalam hal
ini bahwa memberikan BLT kepada masyarakat sebenarnya salah sasaran, dalam
artian bahwa dengan adanya program BLT masyarakat cenderung menjadi pemalas dan
hanya berharap uang yang sebenarnya tidak begiu banyak dari BLT yang seharusnya
masyarakat menjadi masyarakat yang kreatif dalam mengelola sumber daya alam
yang ada. Bahkan tidak sedikit masyaraka yang sebenarnya mampun namun ikut
dalam program BLT yang seharusnya hanya untuk masyarakat berekonom kebawah,
apakah sekarang masyarakat tidak malu mengakui dirinya miskin?
Tentu saja
pendiri Negara ini tidak ingin masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
miskin dan selalu ketergantungan orang lain. Dan setelah membahas masalah ini
seharusnya program BLT ini membuat masyarakat yang berekonomi menengah kebawah bisa
terbantuk dengan program ini namun yang terjadi adalah masyarakat yang ingin
mengambil BLT ini sampai berdesak-desakan dan tidak jarang sampai ada yang
pingsan, suatu perjuangan yang sangat gigih untuk mendapatkan Rp 150.000 per
bulan.
. Karena
kita tidak ingin masyarakat Indonesia akan selamanya ketergantungan kepada
orang lain. Oleh karena itu menurut saya sebaiknya dari pada memberikan BLT
lebih baik membangun lapangan kerja sehingga untuk mempekerjakan masyarakat
yang miskin dan pengangguran karena apabila tidak sebagai orang yang berekonomi
menengah kebawah akan semakin sulit bertahan hidup, sekarang saja sudah banyak
fenomena yang mempersulit hidup masyarakat menengah kebawah sebagai contoh
banyak di rumah sakit yang menolak pasien hanya karena meraka tidak mampu
membayar biaya rumah sakit, ditambah lagi dengan kenaikan harga-harga bahan
pokok yang semakin memberatkan masyarakat
Lampiran
Analisis
Sebagai
sebuah program kompensasi, tujuan BLT tentu bukanlah menurunkan tingkat
kemiskinan secara keseluruhan. Fungsi BLT adalah menjaga tingkat
konsumsi kelompok termiskin – yang umumnya tidak punya mekanisme lain seperti
tabungan atau akses ke pinjaman untuk menjaga tingkat konsumsi – ketika
guncangan ekonomi terjadi. Program kompensasi juga sifatnya sementara.
Tapi ke depan perlu ada semacam protokol atau sistem dimana program seperti BLT
atau cash for work bisa dijalankan tanpa melalui proses pengambilan
kebijakan yang standar.
v Kontruksi Politik
A.
Pemerintah
Dari
berbagai pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai kondisi perekonomian
negara akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan rencana untuk memberikan bantuan
langsung tunai (BLT) kepada 19,1 juta KK
Sangat Miskin, Penyusun menganalisis beberapa aspek penting yang berkenaan
dengan penetapan kebijakan tersebut, yaitu :
1.
Dampak Negatif Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
Indonesia
bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak negatif akibat kenaikan
harga bahan bakar minyak di pasaran dunia.
2. Bantuan
Langsung Tunai (BLT) sebagai Bantuan yang bersifat Darurat (Emeregency)
Memulihkan
dan menstabilkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap gejolak perekonomian
dalam negeri maupun luar negeri memerlukan upaya yang sangat komprehensif dan
membutuhkan waktu yang cukup lama.
3.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai
Bantuan Antara pada Masa Transisi
Selain
sifatnya yang merupakan bantuan darurat, BLT juga merupakan bantuan antara pada
masa transisi, yaitu bantuan yang bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi
ekonomi dan sosial masyarakat pada saat kondisi perekonomian negara sedang
mengalami perubahan atau pembenahan.
4. Bantuan
Langsung Tunai (BLT) sebagai Upaya meredam Gejolak Sosial Masyarakat
Pemerintah
tidak pernah secara langsung dan terang-terangan mengakui atau menyatakan bahwa
BLT sekaligus merupakan upaya untuk meredam gejolak sosial masyarakat yang
mungkin akan timbul dengan ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar
minyak.
B. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
Pada prinsipnya
Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui kebijakan pemberian bantuan langsung tunai
(BLT) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini terbukti dari disetujuinya
alokasi APBN untuk kebutuhan pemberian bantuan tersebut. Namun sebagai
lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan sekaligus menyuarakan kebutuhan
rakyat, DPR RI merasa perlu untuk mengajukan beberapa keberatan dan
pertimbangan terhadap penetapan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT Plus.
Analisis
terhadap berbagai keberatan dan pertimbangan yang disampaikan oleh DPR RI
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Konteks
Kewajiban dan Tanggung jawab Pemerintah terhadap Masyarakat
Sesuai
dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan konteks Negara maka DPR memandang
bahwa sebenarnya Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk mencari
alternatif solusi yang terbaik untuk melakukan stabilisasi ekonomi negara
dengan tidak mengorbankan atau merugikan warga negara. Beberapa Pimpinan,
Anggota maupun Fraksi-fraksi DPR berulangkali meminta agar Pemerintah menunda
kenaikan harga BBM dan memberikan bantuan yang lebih bermanfaat bagi rakyat
miskin.
2.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dipandang sebagai Bantuan Konsumtif dan bersifat
Habis Pakai
Beberapa unsur
DPR menilai bahwa BLT merupakan jenis bantuan konsumtif dan habis pakai.
Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan daya ungkit terhadap kemampuan
ekonomi masyarakat miskin dan bahkan cenderung akan membuat masyarakat menjadi
ketergantungan. DPR juga menilai bahwa pemberian bantuan perlu diujicobakan
terlebih dahulu sebelum ditetapkan kebijakannya untuk seluruh daerah di
Indonesia.
C.
Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial
Kelompok
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lebih banyak menyoroti
kebijakan Pemerintah dalam hal kenaikan harga BBM. Kelompok ini tidak
kurang memberikan respon terhadap penetapan bantuan langsung tunai (BLT).
Hal ini dapat dilihat dari berbagai advokasi dan gerakan/aksi sosial yang
dilakukan bersama unsur-unsur perguruan tinggi yang lebih banyak diarahkan
untuk menentang kebijakan Pemerintah dalam hal perekonomian dan meminta agar
Pemerintah menunda kenaikan harga BBM.
D.
Masyarakat
Masyarakat
merupakan pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban berat dengan
ditetapkannya kenaikan harga BBM. Dalam penetapan kebijakan pemberian BLT,
masyarakat juga berada pada posisi sebagai obyek kebijakan Pemerintah.
Hal ini terbukti dari proses penetapan kebijakan yang tidak didahului dengan
jajak pendapat atau mengakomodir aspirasi masyarakat. Kebijakan dan
pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai pada periode 2005 dan 2006 sampai
saat ini belum diaudit dan dievaluasi pelaksanaannya, oleh karena itu
sesungguhnya Pemerintah belum mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Opini Masyarakat
:
Pemberian BLT pada waktu itu juga
menimbulkan antrean yang tidak terorganisir sehingga menimbulkan kericuhan
dimana-mana. Terakhir, BLT juga dinilai oleh sejumlah kalangan sebagai cara
yang tidak mendidik dan terlalu memanjakan masyarakat.
Ali (42) mengaku sudah kapok dengan BLT dan sejenisnya. Pria
yang sehari-harinya bekerja sebagai cleaning service ini mengaku bahwa dirinya
tidak hanya disulitkan dengan antrean yang panjang dan berdesak-desakan, tapi
juga dengan syarat administrasi yang sulit. “Mengurus syarat-syaratnya saja
sudah susah, waktu syarat-syaratnya sudah lengkap, harus desak-desakan. Setelah
berjam-jam desak-desakan, uangnya sudah habis dan saya tidak kebagian. Kapok
saya!” keluh bapak empat anak tersebut.
Hengki
(36), juga mengungkapkan hal yang sama. “Syarat untuk dapat BLT itu susah
sekali, heran saya,” ujarnya. Meskipun begitu, pria yang sehari-hari bekerja
sebagai tukang ojek ini mengaku terpaksa mengikuti proses pembagian BLT karena
itulah satu-satunya opsi bantuan dari pemerintah. Baginya, sedikit banyak, BLT
dapat membantu meringankan beban dirinya dan keluarga. “Ya kalau tidak diambil
kan sayang. Walaupun harus desak-desakan, tidak masalah lah, namanya
perjuangan,” ujarnya.
Pada dasarnya, masyarakat kecil kurang setuju dengan adanya
pemberian bantuan langsung dari pemerintah seperti BLT. Namun, karena itu
adalah satu-satunya opsi yang ditawarkan, mereka pun mau tidak mau, terpaksa harus
menerimanya. Kedepannya, pemerintah diharapkan bisa member opsi bantuan lain
yang lebih baik kepada masyarakat kecil. Jika opsi lain itu memang tidak ada,
setidaknya BLT jilid II yang sudah berubah nama menjadi BLSM ini diharapkan
bisa berjalan dengan proses yang jauh lebih baik dari BLT terdahulu.
Pada
posisinya sebagai obyek dan penerima bantuan maka reaksi masyarakat cenderung
apatis dalam proses penetapan kebijakan dan persiapan penyaluran bantuan.
Beberapa aspek yang layak untuk dianalisis dari sikap dan posisi masyarakat dalam
penetapan kebijakan BLT adalah sebagai
berikut :
1.
Masyarakat masih belum dibiasakan untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan
pembangunan
Proses
perencanaan pembangunan di Indonesia berangsur-angsur menerapkan pola ‘Jaring
Asmara (Menjaring Aspirasi Masyarakat)’, yang dikenal sebagai tahapan
Musyarawah Pembangunan (Musbang) mulai dari tingkat Dusun sampai dengan tingkat
Nasional. Pada kenyataannya, dalam proses perencanaan tersebut masyarakat
belum disiapkan untuk menjadi pihak yang aktif berpartisipasi dalam
menyampaikan aspirasinya. Pelaksanaan tahapan Musyarawah Pembangunan
sampai dengan saat ini cenderung hanya mengulang proses perencanaan pada
orde-orde sebelum orde reformasi. Oleh karena itu, kebijakan BLT Plus
sama sekali tidak menunjukkan adanya kontribusi partisipasi masyarakat dalam
proses penetapannya.
2. Masyarakat
dihadapkan pada Upaya Pemecahan Masalah yang tidak ada Alternatif Pilihannya
Dengan
mengatasnamakan kondisi ‘tanggap darurat’ di bidang perekonomian, masyarakat
dihadapkan pada ‘hanya satu pilihan’ untuk menerima kebijakan BLT Plus sebagai
satu-satunya alternatif untuk mengatasi kondisi tersebut. Sebagian besar
masyarakat yang masih mampu untuk mengimbangi laju kenaikan harga BBM dan harga
bahan-bahan kebutuhan pokok cenderung tidak memberikan reaksi atas penetapan
kebijakan BLT Plus. Sementara itu, kelompok masyarakat miskin dan sangat
miskin merasakan bahwa sekecil apapun bantuan yang disediakan oleh Pemerintah
maka hal tersebut sudah sangat membantu untuk menyelamatkan keberlangsungan
hidup mereka.
3.
Masyarakat kurang disiapkan dan dilatih dengan Pola Pemberdayaan
Menanggapi
penetapan kebijakan BLT Plus, banyak pihak dalam unsur masyarakat yang
berulangkali meminta agar Pemerintah memberikan bantuan dengan pola
Pemberdayaan, Padat Karya ataupun Modal Usaha. Pendapat-pendapat tersebut
kurang mendapat respon dan dukungan dari masyarakat miskin dan sangat miskin
umumnya. Hal ini terjadi karena masyarakat masih sangat kurang disiapkan
dan dilatih dengan pola pemberdayaan. Masyarakat cenderung dibiasakan
dengan pola bantuan insidentil, konsumtif dan habis pakai. Berbagai jenis
bantuan yang disediakan untuk masyarakat sampai dengan saat ini hampir selalu
bersifat ‘caritas’ dan ‘emeregency’. Bantuan seperti itu tidak mempunyai
‘nilai pembelajaran’ bagi masyarakat sehingga masyarakat selalu berada dalam
posisi yang rentan terhadap berbagai jenis krisis dan gejolak ekonomi.
4.
Masyarakat memiliki Ketahanan Sosial yang cukup kuat
Mencermati
kondisi perekonomian dan sosial Indonesia semenjak terjadinya krisis
multidimensional pada Tahun 1997 sampai dengan gejolak perekonomian akibat
kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008, patut diakui bahwa bangsa
Indonesia memiliki ketahanan sosial yang cukup kuat. Hal ini terbukti
dari minimnya aksi sosial dan kerusuhan sosial akibat kondisi ekonomi rakyat
yang terkena imbas krisis ekonomi negara. Dengan ketahanan sosial
masyarakat yang cukup kuat tersebut maka kebijakan BLT merupakan salah satu
cara untuk memagari ketahanan masyarakat agar tidak sampai terjatuh ke dalam
krisis kepercayaan yang lebih parah terhadap Pemerintah. BLT mungkin tidak
akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap upaya ketahanan ekonomi
masyarakat tetapi sekurang-kurangnya bantuan tersebut dapat menjadi salah satu
upaya untuk menjaga stabilitas sosial dan politik negara.
v Kontruksi sosial
ANALISIS
KRITIS PENYUSUN
Dengan
mencermati latar belakang penetapan kebijakan BLT, pandangan berbagai pihak dan
analisis terhadap berbagai pernyataan banyak pihak maka penyusun mencoba
memberikan analisis kritis terhadap kebijakan BLT sebagai berikut :
A. BLT sebagai Upaya dan Bantuan Tanggap
Darurat di bidang Ekonomi dan Sosial
Tidak
dapat dipungkiri bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami kondisi ‘bencana
ekonomi’ dalam negeri. Kenaikan harga BBM telah menyebabkan masyarakat
kehilangan kemampuan daya beli. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup. Oleh karena itu penyusun
memandang bahwa BLT Plus merupakan bantuan tanggap darurat di bidang ekonomi
dan sosial. Dengan adanya BLT Plus, penyusun menilai bahwa sekurang-kurangnya
untuk satu tahun ke depan masyarakat miskin masih akan mampu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya secara layak. Namun apabila dalam satu tahun ini
Pemerintah tidak segera menetapkan kebijakan baru terkait dengan
program-program pemberdayaan dan peningkatan kemampuan ekonomi maupun sosial
masyarakat maka tenggang waktu pemberian BLT Plus harus diperpanjang dan
kemudian hanya akan menjadi bantuan konsumtif yang menggerogoti perekonomian
negara.
B. Penetapan Kebijakan BLT yang kurang
didasari dengan Transpanrasi Perekonomian Negara
Pemerintah
cenderung selalu menyatakan bahwa penghentian subsidi BBM bagi masyarakat dan
dunia usaha merupakan satu-satunya alternatif untuk menyelamatkan perekonomian
negara. Untuk menyelamatkan kondisi perekonomian masyarakat akibat kenaikan
harga BBM kemudian Pemerintah memberikan BLT Plus. Perhitungan ekonomi
yang ditonjolkan oleh Pemerintah lebih kepada selisih biaya atau devisa negara
yang dapat dihemat dengan menghentikan subsidi BBM dan mengalihkannya kepada
BLT. Penyusun menilai bahwa dalam hal ini Pemerintah masih kurang
transparan dalam hal perekonomian. Dengan cara pandang yang sedikit lebih
kritis bahkan Penyusun menilai bahwa Pemerintah tidak mendahulukan pemenuhan
kebutuhan bagi masyarakat tetapi lebih kepada penyelamatan devisa negara yang
peruntukkannya cenderung tidak pernah dievaluasi secara terbuka.Berbagai
kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi selalu mendahulukan kepentingan pemilik
modal dan dunia usaha. Oleh karena itu menurut penyusun, penetapan
kebijakan BLT Plus lebih bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan kemungkinan
tuntutan masyarakat terhadap tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah di bidang
ekonomi.
C.
BLT sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilisasi Ekonomi
Ketidakmampuan
dan melemahnya daya beli masyarakat akan berakibat terhadap stabilisasi
ekonomi. Oleh karena itu penyusun memandang bahwa sejumlah anggaran yang
disediakan oleh Pemerintah dalam BLT Plus tidak semata-mata untuk menyelamatkan
perekonomian dan keberlangsungan kehidupan masyarakat tetapi juga untuk menjaga
stabilitas ekonomi pemilik modal dan dunia usaha. Ketidakmampuan ekonomi
masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap permintaan terhadap pasar,
produksi, distribusi dan konsumsi. Masyarakat mungkin akan mampu untuk
melakukan penghematan dalam berbagai aspek kebutuhan kehidupannya tetapi hal
ini akan sangat berpengaruh terhadap kelompok pemilik modal dan dunia usaha,
yaitu permintaan pasar yang akan menurun dengan sangat tajam sehingga mempengaruhi
perputaran ekonomi.
D.
BLT sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilitasi Sosial dan Politik
Penyusun
menilai bahwa Pemerintah pada saat ini tidak mempunyai alternatif lain untuk
menekan laju inflasi dan menghemat devisa berkaitan dengan naiknya harga BBM di
dunia Internasional. Kenaikan harga BBM tersebut kemudian telah
menyebabkan terjadinya ‘bencana ekonomi’ dalam negeri dan akan menjadi potensi
terjadinya ‘bencana sosial’. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan
kebijakan BLT Plus sebagai upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang
berpotensi terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial dan bencana sosial
yang lebih parah.
E.
BLT sebagai Jaring Pengaman Sosial Nasional
Penyusun
memandang bahwa BLT menggunakan konsep Jaring Pengaman Sosial Nasional
(National Social Security). Konsep bantuan ini semestinya tidak hanya
diterapkan pada kondisi ‘tanggap darurat pada kejadian bencana ekonomi’ karena
kemudian menuai reaksi dari berbagai kalangan. Seandainya pola bantuan
Jaring Pengaman Sosial ini diberlakukan secara konsisten sesuai kebutuhan dan
berkesinambungan dalam setiap periode Pemerintahan maka penetapan BLT Plus akan
lebih mudah dilaksanakan dan hasilnya mungkin akan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap stabilisasi perekonomian, sosial dan politik negara maupun masyarakat.
IIV DAFTAR PUSTAKA
Greet
ReplyDelete