Tuesday, January 29, 2013

MAKALAH OPINI PUBLIK BLT



ANALISIS OPINI PUBLIK TERHADAP KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM BENTUK BLT
(BANTUAN LANGSUNG TUNAI)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Komunikasi Politik

Oleh:
Dede Irawan (NPM 41183506110008)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM “45”
BEKASI
2011

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji bagi Alloh, yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik dan dengan maunah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa dan mengajarkan kita mu’jizat yang paling agung yaitu Islam dan kitab suci Al Qur’an, sehingga kita dapat menjalankan perintah Alloh, menjauhi semua larangan-larangan-Nya dan dapat mengarungi samudra kehidupan di dunia dengan jalan yang diridhoi-Nya.
Akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu pembimbing dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Tentunya penyampaian pendapat dalam makalah ini masih terdapat kekurangan disana-sini, sehingga saya mengharap saran dan kritik membangun dari para pembaca guna tersusunnya makalah yang sempurna dan dapat bermanfaat khususnya untuk diri saya pribadi dan umumnya bagi seluruh pembaca dan masyarakat sekalian.




Bekasi. 26 Desember 2012













BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Kemiskinan sepertinya tidak akan jauh meninggalkan bangsa kita ini, karena begitu banyak rakyat yang menderita kemiskinan. Ini menandakan bahwa rencana pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan sepertinya hanya bertahan sementara dan salah satu cara dengan mengadakan BLT. Secara garis besar Bantuan Langsung Tunai (BLT) dapat dipahami sebagai pemberian sejumlah uang (dana tunai) kepada masyarakat miskin setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM dengan jalan mengurangi subsidi namun selisih dari subsidi itu diberikan kepada masyarakat miskin. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global. Kebijakan seperti ini patut diberi apresiasi, sebab hal ini juga dapat menjadi salah satu bentuk dari upaya menangani masalah kemiskinan di Indonesia.
Kemudian Pada Tahun 2008, kembali Pemerintah melanjutkan skema program pengurangan subsidi BBM dari bulan Juni  sampai dengan Desember 2008 dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash transfer) sebesar Rp.100.000,- per bulan selama 7 bulan, dengan rincian diberikan Rp.300.000.- / 3 bln (Juni-Agustus) dan Rp.400.000.- / 4 bln (September-Desember). BLT merupakan implementasi dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rumah tangga sasaran (RTS) dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM. Program BLT-RTS ini dalam pelaksanaanya harus langsung menyentuh dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat miskin (yang terkategori sebagai RTS), mendorong tanggung jawab sosial bersama dan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang secara konsisten mesti benar-benar memperhatikan Rumah Tangga Sasaran yang pasti merasakan beban berat sebagai akibat dari kenaikan harga BBM.
BLT yang idealnya harus memenuhi tugas hakikinya yakni membantu masyarakat miskin dengan dasar hukum InPres No.3/2008, memiliki tujuan mulia yang digariskan secara yuridis formal di dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Penyaluran BLT untuk RTS tahun 2008 sebagai berikut:
1) Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan  dasarnya;
2) Mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi;
3) Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Dengan tujuan itu, maka penerima bantuan langsung tunai adalah Rumah Tangga Sasaran sebanyak 19,1 Juta Rumah Tangga Sasaran hasil pendataan oleh BPS. yang meliputi Rumah Tangga Sangat Miskin (poorest), Rumah Tangga Miskin (poor) dan Rumah Tangga Hampir  Miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan pemberian BLT bagi 19,1  juta RTS seluruh Indonesia yang dilakukan karena pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga dasar BBM, kenaikan harga dapat  mengakibatkan harga kebutuhan pokok meningkat dan bagi masyarakat miskin dapat mengakibatkan daya beli mereka semakin menurun. Penurunan ini dikarenakan mereka akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perkembangan harga di pasar. Warga masyarakat miskin akan terkena dampak sosial yakni semakin menurun taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin. Untuk itu diperlukan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dalam bentuk program kompensasi (compensatory program) yang sifatnya khusus (crash program) atau program jaring pengaman sosial (social safety net), seiring dengan besarnya beban subsidi BBM semakin berat dan resiko terjadinya defisit yang  harus ditanggung oleh pemerintah. Selain itu, akibat selisih harga BBM dalam negeri dibanding dengan luar negeri berakibat memberi peluang peningkatan upaya penyelundupan BBM ke luar negeri. Sehingga pemerintah memandang perlu mereviu kebijakan tentang subsidi BBM, karena selama ini subsidi dinikmati juga oleh golongan masyarakat mampu yang kemudian dana itu dialihkan untuk golongan masyarakat miskin. Dan harus diakui program ini setelah dilaksanakan memang melahirkan penilaian yang pro dan kontra terkait keberhasilannya. Ada yang berpendapat bahwa Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga  Sasaran bersifat charity dan menimbulkan budaya malas, ketergantungan, dan meminta-minta belas kasihan Pemerintah serta secara ekonomi mikro menumbuhkan  budaya konsumtif sesaat, karena penggunaan uang tidak diarahkan oleh Pemerintah  (unconditional cash transfer).




B.     Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah tentang bagaiman opini publik terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT).

C.    Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang opini masyarakat terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT).


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Opini Publik Mengenai Kebijakan Pemerintah Dalam Hal BLT
Opini Publik merupakan kumpulan pendapat orang mengenai hal ihwal yg mempengaruhi atau menarik minat komunitas dalam hal ini saya akan menganalisis terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan Langsung Tunai  adalah sebuah program kompensasi untuk kelompok termiskin ketika terjadi sebuah guncangan ekonomi yang bisa mempengaruhi kesejahteraan kelompok itu. Di Indonesia, BLT diberikan saat terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang akan mempengaruhi harga-harga secara umum. Tapi secara prinsip, BLT atau mekanisme kompensasi secara umum bisa diberikan ketika terjadi guncangan ekonomi karena alasan-alasan lain, seperti bencana alam atau krisis ekonomi (cash for work bagi korban letusan Merapi adalah contoh program kompensasi).
Salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan ialah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin di Indonesia. Dalam fenomena ini, pemerintah mengucurkan dana tunai/ dana langsung yang diterima oleh masyarakat melalui aparatur pemerintahan yang sebelumnya telah melakukan survey terkait penduduk mana saja yang berhak menerima dana tersebut. Kebijakan ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat kecil dan menengah untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mengingat masih banyaknya penduduk yang dikategorikan miskin di Indonesia.
Secara historis, kebijakan pemerintah terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut diakibatkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia Penyebab kemiskinan di Indonesia sangat beragam, dimulai dari pendidikan yang rendah, etos kerja yang kurang, hingga budaya konsumerisme yang tinggi serta korupsi yang tumbuh subur. Itulah mengapa pemerintah memberikan dana BLT sebagai “perangsang” perekonomian masyarakat. Namun, imbas dari kebijakan ini justru menciptakan budaya malas bagi masyarakat itu sendiri. Rakyat, pada akhirnya menjadikan BLT sebagai harapan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat hidup mereka. Akibatnya, bukan sebuah peningkatan ekonomi yang terjadi, namun justru etos kerja masyarakat yang semakin menurun. Kebijakan ini ternyata semakin mempersubur budaya korupsi di daerah. Hal ini tercermin dalam pengalokasian dana BLT yang diberikan kepada masyarakat. Ada sebuah stigma, bahwa proses kolusi terjadi dalam pengaplikasian kebijakan ini. Misalnya, penduduk yang mendapatkan bantuan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan aparatur yang berwenang, walaupun penduduk tersebut tidak tergolong miskin. Ini diperkuat dengan tidak adanya standarisasi yang diberikan pemerintah terkait kriteria apa saja yang ditetapkan sebagai penduduk miskin. Walaupun pemerintah telah menetapkan penduduk miskin ialah mereka yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS)  mendefinisikan garis kemiskinan dari “besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan, kesehatan.”
A.     Empat Faktor Kelemahan Kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai)
Kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui BLT, secara umum masih terdapat banyak kelemahan. Setidaknya ada empat kelemahan dalam penerapan kebijakan BLT yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. 
Pertama, kebijakan BLT dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi, dan budaya disetiap wilayah (komunitas). 
Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dari hakikat kemiskinan itu sendiri. 
Ketiga, penanganan program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. 
Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin.
Kebijakan BLT nyatanya belum cocok mengatasi permasalahan ini, sehingga kebijakan itu tidak berhasil karena program yang dirancang dalam pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan masyarakat miskin.
Penyusun menilai bahwa Pemerintah pada saat ini tidak mempunyai alternatif lain untuk menekan laju inflasi dan menghemat devisa berkaitan dengan naiknya harga BBM di dunia Internasional.  Kenaikan harga BBM tersebut kemudian telah menyebabkan terjadinya ‘bencana ekonomi’ dalam negeri dan akan menjadi potensi terjadinya ‘bencana sosial’.  Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan kebijakan BLT Plus sebagai upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang berpotensi terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial dan bencana sosial yang lebih parah. 
Pemerintah mengurangi subsidi BBM karena merasa bahwa selama ini dana subsidi itu juga diterima oleh orang kaya. Karena itu adalah tepat jika selisih subsidi itu diberikan kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin. Dan memang program itu benar-benar telah dijalankan, terlepas dari hasilnya memuaskan atau tidak memuaskan semua pihak di bangsa ini. Namun kita juga jangan sepenuhnya menyalahkan pemerintah, karena pemerintah sebelum menaikan harga BBM dan berujung pada terlaksananya BLT telah memikirkan dengan matang namun mungkin maksud pemerintah tidak sepenuhnya diterima baik oleh masyarakat banyak. Namun menurut saya memberikan BLT memang salah sasaran karena hanya memberikan uang sebanyak Rp 150.000 per bulan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, mungkin masih bisa tertutupi pekerjaan bagi yang mempunyai pekerjaan namun bagaimana dengan masyarakat yang pekerjaannya serabutan yang hanya bekerja bila dipanggil oleh orang? Mungkin ini akan bisa dijawab apabila kita sendiri yang mengalaminya. Bantuan langsung tunai bukanlah sebuah solusi, jauh-jauh hari sudah disampaikan. BLT hanya merupakan bentuk pembodohan, hampir sama dengan kelakuan pemerintah yang membagi-bagikan kompor dan tabung gas gratis. Yang terjadi malah kompor dan tabung gas tersebut dijual lagi.
Kebijakan-kebijakan instan seperti ini sesungguhnya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Terlebih kurangnya akses pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Sehingga masyarakat awam yang tak mendapatkan haknya (pendidikan, dll) menjadi lebih bergantung pada kebijakan sesaat ini. Pemerintah seharusnya tidak hanya memikirkan kondisi ekonomi makro, jika pemerintah mau belajar dari krisis ekonomi di era ’97-’98. Sudahlah kita terjepit, pemerintah masih saja berpikir jangka pendek. Ingatan saya dibawa pada pertemuan dengan Bpk. Paskah Suzeta (Menneg Bappenas) di UNPAD dua tahun silam. Ketika itu dihadapan mahasiswa beliau memaparkan blue print Indonesia 2005-2025. Kenyataannya yang digarisbawahi hanya ekonomi makro dan industrialisasi, sedangkan di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan juga aplikasi teknologi kurang sekali terpresentasikan. Tambahan informasi kebijakan pemerintah RI yang dipandang dunia bisa didapat di World Resource Institute. Pemerintah ke depan jika mau melaksanakan program sejenis BLT ini dengan asumsi bahwa untuk memberikan social protection (perlindungan sosial) bagi masyarakat miskin, berkewajiban untuk menganalisis secara saksama dan benar kebutuhan mendasar masyarakat dalam menghadapi kesulitan hidupnya terkhusus bidang ekonomi dan bukan hanya sekedar memberikan sejumlah uang yang belum tentu tepat sasar.
Sebaiknya pemerintah menciptakan program dengan efek jangka panjang seperti memberikan pelatihan, kemudian dukungan modal, selanjutnya kontrol dalam jangka waktu tertentu dengan menempatkan tenaga pendamping sampai dengan masyarakat bisa bertanggung jawab sendiri mengelolah bidang usaha yang telah disediakan pemerintah. Jika pemerintah benar-benar bertanggungjawab atas nasib rakyatnya, maka pasti uang dalam jumlah besar tersebut akan tepat sasar dan tidak diselewengkan sebagaimana yang telah terjadi di negera ini dengan kasus korupsi yang tinggi sementara rakyat menderita.Mungkin alangkah lebih baik jika dana untuk BLT disalurkan ke wadah yang lebih bermanfaat, misalnya dengan membuat lapangan kerja agar masyarakat bisa bekerja dan agar tidak menjadi jiwa yang hanya menunggu untuk diberi, dan dengan dibangunnya lapangan kerja meningkatkan SDM yang kreatif dan siap bersaing.

Untuk program BLT ini, penulis berpikir jika tingkah laku dan etika yang dikedepankan dalam keseluruhannya maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada penyimpangan karena ketika ada orang yang berperilaku menyimpang ia akan malu karena melanggara yang lazim sebagai kebenaran moral di tengah masyarakat. Namun di Indonesia, BLT tidak beretika lagi. Orang miskin tetap miskin, bahkan orang mampun pun berpura-pura miskin agar bisa dapat BLT. Keadilan sulit ditemukan di negara ini, namun masih ada harapan jika aparat pemerintah kembali introspeksi diri dan melakukan refleksi agar bisa membuat kebijakan dan melaksanakannya agar pantas disebut manusia.
Berdasarkan kedua item analisis tersebut, maka timbul pertanyaan yang boleh dijawab dan boleh juga sekedar menjadi bahan refleksi sebagai anak bangsa dan mungkin juga menikmati program BLT karena kita masih tergolong miskin. Miskin harta masih lebih baik daripada miskin harga diri yang membuat bangsa ini kian terpuruk dalam kebobrokan mental penyelenggara negara dan jauh meninggalkan filsafat politik sehingga tidak bisa lagi melihat fenomena bangsa secara falsafati.
Idealnya program pemerintah yang dikemas secara apik dan indah dalam bingkai bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang seakan menjadi oase di tengah padang kesulitan ekonomi masyarakat miskin Indonesia yang katanya semakin berkurang tetapi realitasnya kok justru bertambah. Banyak orang mengaku miskin hanya karena uang Rp.100.000,- perbulan. Orang Indonesia tidak malu lagi mengaku miskin, salah siapa?
Tentu kita yakin para pendiri bangsa ini tidak pernah bercita-cita mendirikan negara untuk disia-siakan oleh penerusnya. BLT harusnya membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin yang mengalami berbagai kesulitan dalam menjalani hidup. Namun setelah program bergulir tidak ada perubahan berarti kecuali ketergantungan masyarakat miskin kepada pemerintah. Di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, ada banyak orang tinggal di jalanan. Di pelosok desa, petani tidak bisa bercocok tanam lagi karena tanahnya sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan atau pertambangan yang menjadi milik perusahaan asing dan mereka Cuma jadi buruh kasar yang digaji secara tak pantas.
Namanya juga oase yang bisa saja nyata ataupun fatamorgana semata. Rakyat senang ketika melihat dan mendapat sejumlah uang dari pemerintah, namun apakah uang itu akan terus diberikan pemerintah? Penulis tidak yakin hal itu akan terus berlanjut, maka adalah lebih baik ketika menemukan mata air harus dibuat sumur dan ditampung dengan sistem yang modern agar tidak sia-sia menguap ke langit.
Hal ini sama dengan pemberian BLT yang tidak berbekas, rakyat terus meminta pengasihanian pemerintah. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang berarti buat masyarakat miskin, mereka terus miskin bahkan dilarang sakit karena berobat pun mahal meski katanya ada Jamkesmas.
Karena itu penulis menyarankan kepada pemerintah sekiranya dalam menyusun yang langsung menyentuh masyarakat, lebih bijaksana agar kebijakannya dapat tepat sasar dan bisa membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh golongan kaya saja tetapi seluruh golongan masyarakat Indonesia. Penulis sarankan agar kebijakan yang pro rakyat itu hendaknya dibuat dibuat dari berpikir dengan ciri-ciri berpikir filsafat dan gaya berpikir filsafat. Tujuannya agar masyarakat tidak haus lagi ketika mendapatkan sumber air yang bisa membuat mereka bertahan hidup saat ini dan di masa yang akan datang bila itu memungkinkan.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam makalah ini saya berasumsi bahwa persoalan kemiskinan di Indonesia justru semakin menjadi parah dan menjadi lebih buruk adalah akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang diambil oleh pemerintahan SBY-JK melalui program BLT. Dalam hal ini saya memandang bahwa persoalan kemiskinan telah menjadi sebuah ‘slogan’ yang dipakai secara ‘keliru’ untuk suatu kepentingan tertentu. Dimana kemiskinan dan kaum miskin telah menjadi ‘alat dan sarana’ bagi orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya untuk menjadi lebih berkuasa dan menjadi kaya, sedangkan kaum miskin tetap menjadi miskin dan tambah menjadi miskin.
Dalam hal ini bahwa memberikan BLT kepada masyarakat sebenarnya salah sasaran, dalam artian bahwa dengan adanya program BLT masyarakat cenderung menjadi pemalas dan hanya berharap uang yang sebenarnya tidak begiu banyak dari BLT yang seharusnya masyarakat menjadi masyarakat yang kreatif dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Bahkan tidak sedikit masyaraka yang sebenarnya mampun namun ikut dalam program BLT yang seharusnya hanya untuk masyarakat berekonom kebawah, apakah sekarang masyarakat tidak malu mengakui dirinya miskin?
Tentu saja pendiri Negara ini tidak ingin masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin dan selalu ketergantungan orang lain. Dan setelah membahas masalah ini seharusnya program BLT ini membuat masyarakat yang berekonomi menengah kebawah bisa terbantuk dengan program ini namun yang terjadi adalah masyarakat yang ingin mengambil BLT ini sampai berdesak-desakan dan tidak jarang sampai ada yang pingsan, suatu perjuangan yang sangat gigih untuk mendapatkan Rp 150.000 per bulan.









. Karena kita tidak ingin masyarakat Indonesia akan selamanya ketergantungan kepada orang lain. Oleh karena itu menurut saya sebaiknya dari pada memberikan BLT lebih baik membangun lapangan kerja sehingga untuk mempekerjakan masyarakat yang miskin dan pengangguran karena apabila tidak sebagai orang yang berekonomi menengah kebawah akan semakin sulit bertahan hidup, sekarang saja sudah banyak fenomena yang mempersulit hidup masyarakat menengah kebawah sebagai contoh banyak di rumah sakit yang menolak pasien hanya karena meraka tidak mampu membayar biaya rumah sakit, ditambah lagi dengan kenaikan harga-harga bahan pokok yang semakin memberatkan masyarakat


























Lampiran
Analisis

Sebagai sebuah program kompensasi, tujuan BLT tentu bukanlah menurunkan tingkat kemiskinan secara keseluruhan. Fungsi BLT adalah menjaga tingkat konsumsi kelompok termiskin – yang umumnya tidak punya mekanisme lain seperti tabungan atau akses ke pinjaman untuk menjaga tingkat konsumsi – ketika guncangan ekonomi terjadi. Program kompensasi juga sifatnya sementara. Tapi ke depan perlu ada semacam protokol atau sistem dimana program seperti BLT atau cash for work bisa dijalankan tanpa melalui proses pengambilan kebijakan yang standar.
v  Kontruksi Politik
     A. Pemerintah
Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai kondisi perekonomian negara akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan rencana untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT)  kepada 19,1 juta KK Sangat Miskin, Penyusun menganalisis beberapa aspek penting yang berkenaan dengan penetapan kebijakan tersebut, yaitu :
1.    Dampak Negatif Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak negatif akibat kenaikan harga bahan bakar minyak di pasaran dunia. 
2.   Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai Bantuan yang bersifat Darurat (Emeregency)
Memulihkan dan menstabilkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap gejolak perekonomian dalam negeri maupun luar negeri memerlukan upaya yang sangat komprehensif dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
3.    Bantuan Langsung Tunai (BLT)  sebagai Bantuan Antara pada Masa Transisi
Selain sifatnya yang merupakan bantuan darurat, BLT juga merupakan bantuan antara pada masa transisi, yaitu bantuan yang bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pada saat kondisi perekonomian negara sedang mengalami perubahan atau pembenahan. 



4.   Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai Upaya meredam Gejolak Sosial Masyarakat
Pemerintah tidak pernah secara langsung dan terang-terangan mengakui atau menyatakan bahwa BLT sekaligus merupakan upaya untuk meredam gejolak sosial masyarakat yang mungkin akan timbul dengan ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar minyak. 
B.  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
Pada prinsipnya Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) yang ditetapkan oleh Pemerintah.  Hal ini terbukti dari disetujuinya alokasi APBN untuk kebutuhan pemberian bantuan tersebut.  Namun sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan sekaligus menyuarakan kebutuhan rakyat, DPR RI merasa perlu untuk mengajukan beberapa keberatan dan pertimbangan terhadap penetapan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT Plus.
Analisis terhadap berbagai keberatan dan pertimbangan yang disampaikan oleh DPR RI tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Konteks Kewajiban dan Tanggung jawab Pemerintah terhadap Masyarakat
Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan konteks Negara maka DPR memandang bahwa sebenarnya Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk mencari alternatif solusi yang terbaik untuk melakukan stabilisasi ekonomi negara dengan tidak mengorbankan atau merugikan warga negara.  Beberapa Pimpinan, Anggota maupun Fraksi-fraksi DPR berulangkali meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga BBM dan memberikan bantuan yang lebih bermanfaat bagi rakyat miskin.
2.    Bantuan Langsung Tunai (BLT) dipandang sebagai Bantuan Konsumtif dan bersifat Habis Pakai
Beberapa unsur DPR menilai bahwa BLT merupakan jenis bantuan konsumtif dan habis pakai.  Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan daya ungkit terhadap kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan bahkan cenderung akan membuat masyarakat menjadi ketergantungan.  DPR juga menilai bahwa pemberian bantuan perlu diujicobakan terlebih dahulu sebelum ditetapkan kebijakannya untuk seluruh daerah di Indonesia.


C. Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial
Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lebih banyak menyoroti kebijakan Pemerintah dalam hal kenaikan harga BBM.  Kelompok ini tidak kurang memberikan respon terhadap penetapan bantuan langsung tunai (BLT).  Hal ini dapat dilihat dari berbagai advokasi dan gerakan/aksi sosial yang dilakukan bersama unsur-unsur perguruan tinggi yang lebih banyak diarahkan untuk menentang kebijakan Pemerintah dalam hal perekonomian dan meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga BBM. 
D. Masyarakat
Masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban berat dengan ditetapkannya kenaikan harga BBM.  Dalam penetapan kebijakan pemberian BLT, masyarakat juga berada pada posisi sebagai obyek kebijakan Pemerintah.  Hal ini terbukti dari proses penetapan kebijakan yang tidak didahului dengan jajak pendapat atau mengakomodir aspirasi masyarakat.  Kebijakan dan pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai pada periode 2005 dan 2006 sampai saat ini belum diaudit dan dievaluasi pelaksanaannya, oleh karena itu sesungguhnya Pemerintah belum mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Opini Masyarakat :
Pemberian BLT pada waktu itu juga menimbulkan antrean yang tidak terorganisir sehingga menimbulkan kericuhan dimana-mana. Terakhir, BLT juga dinilai oleh sejumlah kalangan sebagai cara yang tidak mendidik dan terlalu memanjakan masyarakat. 
Ali (42) mengaku sudah kapok dengan BLT dan sejenisnya. Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai cleaning service ini mengaku bahwa dirinya tidak hanya disulitkan dengan antrean yang panjang dan berdesak-desakan, tapi juga dengan syarat administrasi yang sulit. “Mengurus syarat-syaratnya saja sudah susah, waktu syarat-syaratnya sudah lengkap, harus desak-desakan. Setelah berjam-jam desak-desakan, uangnya sudah habis dan saya tidak kebagian. Kapok saya!” keluh bapak empat anak tersebut.
Hengki (36), juga mengungkapkan hal yang sama. “Syarat untuk dapat BLT itu susah sekali, heran saya,” ujarnya. Meskipun begitu, pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek ini mengaku terpaksa mengikuti proses pembagian BLT karena itulah satu-satunya opsi bantuan dari pemerintah. Baginya, sedikit banyak, BLT dapat membantu meringankan beban dirinya dan keluarga. “Ya kalau tidak diambil kan sayang. Walaupun harus desak-desakan, tidak masalah lah, namanya perjuangan,” ujarnya.

Pada dasarnya, masyarakat kecil kurang setuju dengan adanya pemberian bantuan langsung dari pemerintah seperti BLT. Namun, karena itu adalah satu-satunya opsi yang ditawarkan, mereka pun mau tidak mau, terpaksa harus menerimanya. Kedepannya, pemerintah diharapkan bisa member opsi bantuan lain yang lebih baik kepada masyarakat kecil. Jika opsi lain itu memang tidak ada, setidaknya BLT jilid II yang sudah berubah nama menjadi BLSM ini diharapkan bisa berjalan dengan proses yang jauh lebih baik dari BLT terdahulu.
Pada posisinya sebagai obyek dan penerima bantuan maka reaksi masyarakat cenderung apatis dalam proses penetapan kebijakan dan persiapan penyaluran bantuan.  Beberapa aspek yang layak untuk dianalisis dari sikap dan posisi masyarakat dalam penetapan kebijakan BLT  adalah sebagai berikut :
1.    Masyarakat masih belum dibiasakan untuk ikut berperan aktif dalam perencanaan pembangunan
Proses perencanaan pembangunan di Indonesia berangsur-angsur menerapkan pola ‘Jaring Asmara (Menjaring Aspirasi Masyarakat)’, yang dikenal sebagai tahapan Musyarawah Pembangunan (Musbang) mulai dari tingkat Dusun sampai dengan tingkat Nasional.  Pada kenyataannya, dalam proses perencanaan tersebut masyarakat belum disiapkan untuk menjadi pihak yang aktif berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya.  Pelaksanaan tahapan Musyarawah Pembangunan sampai dengan saat ini cenderung hanya mengulang proses perencanaan pada orde-orde sebelum orde reformasi.  Oleh karena itu, kebijakan BLT Plus sama sekali tidak menunjukkan adanya kontribusi partisipasi masyarakat dalam proses penetapannya.
2.   Masyarakat dihadapkan pada Upaya Pemecahan Masalah yang tidak ada Alternatif Pilihannya
Dengan mengatasnamakan kondisi ‘tanggap darurat’ di bidang perekonomian, masyarakat dihadapkan pada ‘hanya satu pilihan’ untuk menerima kebijakan BLT Plus sebagai satu-satunya alternatif untuk mengatasi kondisi tersebut.  Sebagian besar masyarakat yang masih mampu untuk mengimbangi laju kenaikan harga BBM dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok cenderung tidak memberikan reaksi atas penetapan kebijakan BLT Plus.  Sementara itu, kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin merasakan bahwa sekecil apapun bantuan yang disediakan oleh Pemerintah maka hal tersebut sudah sangat membantu untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka.

3.    Masyarakat kurang disiapkan dan dilatih dengan Pola Pemberdayaan
Menanggapi penetapan kebijakan BLT Plus, banyak pihak dalam unsur masyarakat yang berulangkali meminta agar Pemerintah memberikan bantuan dengan pola Pemberdayaan, Padat Karya ataupun Modal Usaha.  Pendapat-pendapat tersebut kurang mendapat respon dan dukungan dari masyarakat miskin dan sangat miskin umumnya.  Hal ini terjadi karena masyarakat masih sangat kurang disiapkan dan dilatih dengan pola pemberdayaan.  Masyarakat cenderung dibiasakan dengan pola bantuan insidentil, konsumtif dan habis pakai.  Berbagai jenis bantuan yang disediakan untuk masyarakat sampai dengan saat ini hampir selalu bersifat ‘caritas’ dan ‘emeregency’.  Bantuan seperti itu tidak mempunyai ‘nilai pembelajaran’ bagi masyarakat sehingga masyarakat selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai jenis krisis dan gejolak ekonomi.
4.    Masyarakat memiliki Ketahanan Sosial yang cukup kuat
Mencermati kondisi perekonomian dan sosial Indonesia semenjak terjadinya krisis multidimensional pada Tahun 1997 sampai dengan gejolak perekonomian akibat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008, patut diakui bahwa bangsa Indonesia memiliki ketahanan sosial yang cukup kuat.  Hal ini terbukti dari minimnya aksi sosial dan kerusuhan sosial akibat kondisi ekonomi rakyat yang terkena imbas krisis ekonomi negara.  Dengan ketahanan sosial masyarakat yang cukup kuat tersebut maka kebijakan BLT merupakan salah satu cara untuk memagari ketahanan masyarakat agar tidak sampai terjatuh ke dalam krisis kepercayaan yang lebih parah terhadap Pemerintah. BLT mungkin tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap upaya ketahanan ekonomi masyarakat tetapi sekurang-kurangnya bantuan tersebut dapat menjadi salah satu upaya untuk menjaga stabilitas sosial dan politik negara.

v  Kontruksi sosial
ANALISIS KRITIS PENYUSUN

Dengan mencermati latar belakang penetapan kebijakan BLT, pandangan berbagai pihak dan analisis terhadap berbagai pernyataan banyak pihak maka penyusun mencoba memberikan analisis kritis terhadap kebijakan BLT sebagai berikut : 



A.    BLT sebagai Upaya dan Bantuan Tanggap Darurat di bidang Ekonomi dan Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami kondisi ‘bencana ekonomi’ dalam negeri.  Kenaikan harga BBM telah menyebabkan masyarakat kehilangan kemampuan daya beli.  Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup.  Oleh karena itu penyusun memandang bahwa BLT Plus merupakan bantuan tanggap darurat di bidang ekonomi dan sosial.  Dengan adanya BLT Plus, penyusun menilai bahwa sekurang-kurangnya untuk satu tahun ke depan masyarakat miskin masih akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.  Namun apabila dalam satu tahun ini Pemerintah tidak segera menetapkan kebijakan baru terkait dengan program-program pemberdayaan dan peningkatan kemampuan ekonomi maupun sosial masyarakat maka tenggang waktu pemberian BLT Plus harus diperpanjang dan kemudian hanya akan menjadi bantuan konsumtif yang menggerogoti perekonomian negara. 
B.     Penetapan Kebijakan BLT yang kurang didasari dengan Transpanrasi Perekonomian Negara

Pemerintah cenderung selalu menyatakan bahwa penghentian subsidi BBM bagi masyarakat dan dunia usaha merupakan satu-satunya alternatif untuk menyelamatkan perekonomian negara.  Untuk menyelamatkan kondisi perekonomian masyarakat akibat kenaikan harga BBM kemudian Pemerintah memberikan BLT Plus.  Perhitungan ekonomi yang ditonjolkan oleh Pemerintah lebih kepada selisih biaya atau devisa negara yang dapat dihemat dengan menghentikan subsidi BBM dan mengalihkannya kepada BLT.  Penyusun menilai bahwa dalam hal ini Pemerintah masih kurang transparan dalam hal perekonomian.  Dengan cara pandang yang sedikit lebih kritis bahkan Penyusun menilai bahwa Pemerintah tidak mendahulukan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat tetapi lebih kepada penyelamatan devisa negara yang peruntukkannya cenderung tidak pernah dievaluasi secara terbuka.Berbagai kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi selalu mendahulukan kepentingan pemilik modal dan dunia usaha.  Oleh karena itu menurut penyusun, penetapan kebijakan BLT Plus lebih bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan kemungkinan tuntutan masyarakat terhadap tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah di bidang ekonomi. 



C.   BLT sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilisasi Ekonomi

Ketidakmampuan dan melemahnya daya beli masyarakat akan berakibat terhadap stabilisasi ekonomi.  Oleh karena itu penyusun memandang bahwa sejumlah anggaran yang disediakan oleh Pemerintah dalam BLT Plus tidak semata-mata untuk menyelamatkan perekonomian dan keberlangsungan kehidupan masyarakat tetapi juga untuk menjaga stabilitas ekonomi pemilik modal dan dunia usaha.  Ketidakmampuan ekonomi masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap permintaan terhadap pasar, produksi, distribusi dan konsumsi.  Masyarakat mungkin akan mampu untuk melakukan penghematan dalam berbagai aspek kebutuhan kehidupannya tetapi hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kelompok pemilik modal dan dunia usaha, yaitu permintaan pasar yang akan menurun dengan sangat tajam sehingga mempengaruhi perputaran ekonomi. 

D.   BLT sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilitasi Sosial dan Politik

Penyusun menilai bahwa Pemerintah pada saat ini tidak mempunyai alternatif lain untuk menekan laju inflasi dan menghemat devisa berkaitan dengan naiknya harga BBM di dunia Internasional.  Kenaikan harga BBM tersebut kemudian telah menyebabkan terjadinya ‘bencana ekonomi’ dalam negeri dan akan menjadi potensi terjadinya ‘bencana sosial’.  Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan kebijakan BLT Plus sebagai upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang berpotensi terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial dan bencana sosial yang lebih parah. 

E.   BLT sebagai Jaring Pengaman Sosial Nasional

Penyusun memandang bahwa BLT menggunakan konsep Jaring Pengaman Sosial Nasional (National Social Security).  Konsep bantuan ini semestinya tidak hanya diterapkan pada kondisi ‘tanggap darurat pada kejadian bencana ekonomi’ karena kemudian menuai reaksi dari berbagai kalangan.  Seandainya pola bantuan Jaring Pengaman Sosial ini diberlakukan secara konsisten sesuai kebutuhan dan berkesinambungan dalam setiap periode Pemerintahan maka penetapan BLT Plus akan lebih mudah dilaksanakan dan hasilnya mungkin akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap stabilisasi perekonomian, sosial dan politik negara maupun masyarakat.


IIV DAFTAR PUSTAKA
















1 comment: